Dalz Neutron’s Blog

Sarat akan Manfaat

Kawasan-kawasan dalam Teknologi Pendidikan

Teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi proses dan sumber untuk belajar.

Desain

Desain adalah proses untuk menentukan kondisi belajar.

Desain bertujuan untuk menciptakan strategi, dalam artian desain berguna untuk membuat sebuah strategi (rancangan atau perencanaan) agar pembelajaran atau pelatihan dapat terlaksana secara efektif dan efisien.

Desain ini dapat diaplikasikan melalui rancangan sebuah program, baik yang bersifat mikro (program pelatihan), maupun yang makro (rencana pengajaran).

Kawasan desain meliputi:

  • Desain system pembelajaran, merupakan proses yang terorganisir yang meliputi langkah-langkah penganalisaan (proses perumusan apa yang akan dipelajari), perancangan (proses penjabaran bagaimana caranya hal tersebut akan dipelajari), pengembangan (proses penulisan dan pembuatan atau produksi bahan-bahan pembelajaran), pengaplikasian (pemanfaatan bahan dan strategi yang bersangkutan), dan penilaian (proses penentuan ketepatan pembelajaran)
  • Desain pesan, perencanaan untuk merekayasa bentuk fisik dari pesan, agar terjadi komunikasi antara pengirim dan penerima. Dalam desain pesan ini, Fleming dan Levie membatasi pesan, yaitu pada pola-pola isyarat atau symbol yang dapat merubah perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Desain harus bersifat spesifik, baik tentang media maupun tugas belajarnya. Hal ini mengandung makna bahwa prinsip-prinsip desain pesan akan berbeda, bergantung pada jenis medianya, apakah media tersebut bersifat statis (potret), dinamis (film) atau kombinasi keduanya (grafik computer).Juga apakah tugas belajarnya tentang pembentukan konsep, pengembangan sikap, pengembangan keterampilan, strategi belajar atau hafalan.
  • Strategi pembelajaran, spesifikasi untuk menyeleksi serta mengurutkan peristiwa belajar atau kegiatan belajar dalam suatu pembelajaran. Teori tentang strategi pembelajaran meliputi situasi belajar dan komponen belajar/mengajar. Dalam mengaplikasikan suatu strategi pembelajaran bergantung pada situasi belajar, sifat materi, dan jenis belajar yang dikehendaki.
  • Strategi pembelajaran, spesifikasi untuk menyeleksi serta mengurutkan peristiwa belajar atau kegiatan belajar dalam suatu pembelajaran. Teori tentang strategi pembelajaran meliputi situasi belajar dan komponen belajar/mengajar. Dalam mengaplikasikan suatu strategi pembelajaran bergantung pada situasi belajar, sifat materi, dan jenis belajar yang dikehendaki.

January 12, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Learning and Improving

Berdasarkan definisi AECT 2004 ( AECT Definition and Terminologi Committee document #MM4.0 ), Teknologi Pendidikan adalah :

Educational technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processes and resources. (Teknologi Pembelajaran adalah studi dan etika praktek untuk memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengaturan proses dan sumber daya teknologi.)

LEARNING (BELAJAR)

Dalam istilah belajar sekarang bukan berarti konotasi dari 40 tahun yang lalu, ketika pertama definisi AECT dikembangkan. Ada kesadaran yang tinggi dari perbedaan antara hanya mengingatkan informasi ujian dan tujuan akuisisi pengetahuan keterampilan, dan sikap menggunakan dinding luar kelas.

Salah satu elemen penting dari desain pembelajaran adalah untuk mengidentifikasi tugas belajar untuk dikejar dan untuk memilih metode penilaian untuk mengukur pencapaian mereka. Tugas belajar dapat dikategorikan menurut berbagai penafsiran. Yang jelas adalah satu yang disarankan oleh Perkins (1992). Hal yang mudah jenis pembelajaran adalah penyimpanan informasi. Di sekolah dan kampus, belajar dapat dinilai dengan carakertas dan pensil yang memerlukan demonstrasi tersebut untuk diingat. Computer berbasis intruksi unit (seperti “system belajar terpadu”) dapat memasukkan beberapa pilihan, pencocokan, atau menjawab singkat tes sebanding dengan kertas dan pensil.

Tujuan pembelajaran mungkin termasuk pemahaman serta ingatan. Penilaian yang memerlukan paraphrasing atau pemecahan masalah mungkin karena pemahaman dimensi. Semacam bentuk penilaian yang lebih menantang untuk perancang, terutama karena mereka adalah tenaga kerja lebih intensif untuk membangun dan mengevaluasi.

Tujuan pembelajaran mungkin lebih ambisius, sehingga pengetahuan dan ketrampilan diterapkan dengan cara aktif. Untuk menilai tingkat pembelaajaran ini memerlukan simulasi situasi masalah yang nyata, sesuatu yang jelas untuk mengatur menantang. Sebagian ini akan dicirikan perbedaan jenis belajar hanya sebagai permukaan versus belajar yang mendalam (Weigel, 2001).

Seperti jenis atau tingkat pembelajaran tleah lama diakui, tetapi ada kebutuhan di sekolah, perguruan tinggi, perusahaan pelatihan untuk lebih perhatian kepada tingkat penggunaan yang aktif. Hal ini semakin dirasakan waktu dan uang yang dikeluarkan untuk menghitung dan menilai “pengetahuan yang malas” (white head, 1929) pada dasarnya adalah membuang waktu. Jika pelajar tidak menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan sikap di luar kelas, apakah ini merupakan jalur pengajaran mereka? Jadi hari ini, ketika berbicara tentang jalur belajar pendidik, mereka biasanya berarti produktif, aktif menggunakan, atau belajar lebih mendalam. Mengejar belajar secara mendalam pelajaran dan penilaian yang berbeda dari pendekatan pembelajaran yang awal, sehingga perubahan ini memiliki konotasi yang besar untuk proses dan sumber daya yang “tepat”.

IMPROVING (PERBAIKAN/ PENINGKATAN)

Dilapangan agar masyarakat memiliki tuntutan yang seharusnya memberikan dukungan yang sepenuhnya untuk menyelesaikan beberapa tujuan yang layak. Misalnya, untuk juru masakuntuk melakukan kuliner professional mereka harus dapat menyiapkan makanan dan bagaimana cara yang lebih baik daripada non pakar, lebih menarik, aman, lebih bergizi, disiapkan lebih efisien, dan sebagainya. Dalam teknologi pendidikan, untuk meningkatkan kinerja paling sering memerlukan pendapat dari efektivitas: bahwa proses untuk memimpin diduga efektif, perubahan dalam kemampuan yang dilakukan dandiaplikasikan dalam dunia nyata.

Keberhasilan yang umumnya efisien, yang sangat sesuai dengan hasil paling sedikit akan memboroskan waktu, tenaga, dan biaya. Tetapi ada efisien yang bergantung pada tujuan yang diikuti. Contohnya: jika anda tetap ingin mengemudi dari San Francisco ke Los angeles dalam waktu yang singkat, mungkin dengan melewati Interstate Highway 5 akan lebih efisien. Namun, jika tujuan anda adalah untuk melihat pemandangan laut disepanjang jalan, State highway 1, dengan melewati sekitar garis pantai, mungkin akan lebih efisien. Demikian juga perancang mungkin tidak setuju dengan baik pada metode jika mereka tidak memiliki tujuan oikiran yang sama dalam belajar. Untuk menjadi besar, cara yang sistematis gerakan pembangunan pembelajaran telah didorong oleh kekhawatiran dari efisiensi, ditetapkan untuk membantu peserta didik dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan dan diukur dengan tujjuan penilaian.

Konsep efisiensi dipandang berbeda dalam pembangunan pendekatan pembelajaran. Dalam pendekatan ini, desainer/perancang lebih menitik beratkan pada perbandingan dalam pengajaran dan pada sejauh mana peserta didik dapat memilih sendiri alur dantujuan mereka sendiri. Mereka akan lebih mudah mengukur keberhasilan dalam hal pengetahuan yang difahami secara mendalam, lebih berpengalaman dan dapat diterapkan pada dunia nyata sebagai pertentangan untuk mengurangi keaslian dan menanamkan langkah-langkah pembelajaran, sama seperti test objektif. Namun sebaiknya desain tersebut direncanakan untuk mempelajari apa yang terjadi dalam waktu tertentudengan beberapa tujuan dalam pikiran dan sumber daya untuk tujuan tersebut. Diantara pihak-pihak yang telah dikelola untuk menyetujui tujuan, efisiensi dalam mencapai tujuan tersebut tentu saja akan diangggap sebagai nilai plus.

Dengan harapan belajar yang tinggi, dan ancang-ancang yang tinggi untuk pencapaian keberhasilan menjadi sangat diperlukan dalam masyarakat, hal lain yang sama, lebih cepat lebih baik dari yang lebih lambat, dan lebih murah lebih baik dari yang lebih mahal.

January 12, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Tren Pendidikan Internasional (Sekolah bertaraf Internasional, keren juga tuh??)

“Hebat yah, anak itu sekolahnya di sekolah internasional lho…”.

“Wah pasti nya pinter banget tuh anak…”

“ah nggak juga, yang penting kalo mau masuk sekolah internasional harus punya banyak duit jeng,,,”

“Waduh, gimana rasanya ya kalo anak kita sekolah di sekolah internasional… kita sebagai ibunya pasti bangga banget yah…”.

“Bisa jadi bahan buat digosipin ma ibu-ibu lagi, khan seneng….”.

***

Dialog diatas merupakan satu diantara banyak pendapat masyarakat mengenai sekolah Internasional, lantas yang seperti sih sebenarnya pendidikan Internasional itu?

yu…

Sekolah-sekolah internasional bukanlah satu-satunya jenis sekolah yang menyuguhkan pendidikan internasional. Sekolah-sekolah nasional, baik negeri maupun swasta, juga dapat menjadi partner setara. Hal ini mulai nampak pada dekade ‘90-andan melalui beberapa penulis, seperti misalnya Peels (1998 halaman 12), telah mengarah kepada hal tersebut. Walker (1995 halaman 14) berkata: “Sekarang ini sejumlah besar sekolah negeri nasional…menggalakkan perkembangan jalur pendidikan internasional”. Menarik untuk disimak bahwasanya 1080 sekolah-sekolah International Baccalaureate Organization (IBO) di bulan Mei 2000, 43% diantaranya adalah sekolah negeri. 57% dari sisanya, sepertiga adalah sekolah swasta nasional. Dengan demikian berarti hanya sepertiga dari seluruh sekolah yang menyelenggarakan program IBO merupakan sekolah-sekolah internasional independen milik swasta. Diskusi menawarkan deskripsi sekolah-sekolah internasional, sekolah-sekolah nasional dan pendidikan internasional; yang dikatakan bahwasanya konsep sekolah-sekolah “international-minded” (berwawasan internasional) lebih cocok dengan peningkatan pendidikan internasional dan upaya untuk mengilustrasikan hal ini melalui sebuah contoh pengajaran yang berupaya membangun pemahaman inter-kultural.

Ciri-Ciri Sekolah Nasional

Sebuah sekolah nasional biasanya mengajarkan kurikulum yang ditetapkan oleh kementrian pendidikan dari negeri yang bersangkutan dan memiliki baik siswa maupun staff dari dalam negeri. Sebagian besar adalah sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah (tanpa uang sekolah), dan sejumlah besar sekolah swasta (yang menerapkan uang sekolah). Kebanyakan sekolah ini berlokasi di dalam negeri, sebagian di luar negeri yang didirikan untuk warga Negara negeri yang bersangkutan, seprti misalnya sejumlah sekolah Amerika, Inggris dan Perancis.

Dalam beberapa kasus, sekolah nasional akan mengajarkan program pendidikan nasionalnya, program negeri lain atau sebuah program internasional. Beberapa sekolah swasta, seperti sekolah nasional di Afrika Selatan, mengajarkan CCE “A” level sebagai tambahan pembelajaran matrikulasi nasional. Sebagian besar negeri-negeri di Afrika yang berbahasa Perancis memiliki sejumlah kecil sekolah swasta-nasional yang mengajarkan baccalaureat Perancis bersamaan dengan baccaulaureate lokal dimana sekolah itu berada. City Technology College, Kinghust, Birmingham, adalah sebuah sekolah negeri yang manawarkan Program IB Diploma dan tidak menyelenggarakan “A” level (namun menyuguhkan program nasional Inggris lainnya yang berorientasi pada pendidikan vokasional/keterampilan).

Sebuah contoh lain, banyak dari sekolah-sekolah di Amerika Utara yang ada di luar Amerika, menawarkan Program IB sebagai tambahan dari diploma SMA dan ujian Advanced Placement; beberapa diantaranya diberi nama “The American International School of…” yang menandakan bahwasanya mereka mempertahankan etos ke-Amerika-annya namun juga menawarkan dimensi internasional. Sekarang ini, banyak sekolah sekolah Amerika yang berkedudukan di luar negeri yang hanya memiliki sejumlah kecil siswa yang berasal dari Amerika dan sisanya datang dari budaya yang berbeda-beda, namun staffnya sebagian besar adalah warga negara Amerika. Di satu sisi, mereka ini memiliki kualifikasi sebagai sekolah-sekolah internasional, namun mereka mempromosikan budaya dan system pendidikan Amerika dan dengan demikian merupakan sekolah nasional ditinjau dari asal-usul dan etosnya.

Sekolah Internasional – apa artinya?

Sebuah sekolah internasional biasanya melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Mereka sering berpindah berpindah dari satu negera ke negera lainnya, karena biasanya mereka adalah pegawai salah satu organisasi PBB atau perusahaan swasta multinasional. Staffnya juga terdiri dari orang-orang berbagai bangsa tanpa memiliki satu budaya yang dominan. Sekolah-sekolah sejenis ini biasanya menawarkan satu atau lebih program internasional (namun biasanya bukanlah program dari negeri dimana sekolah ini berada) atau merupakan kombinasi dari keduanya. Sekolah-sekolah ini adalah sekolah swasta yang menerapkan sistem uang sekolah dan tersebar di seluruh dunia. Mereka juga melayani orang tua (kebanyakan orang asing dan juga lokal) yang menginginkan putera-puterinya menerima pendidikan yang berbeda dari program lokal (walaupun ada juga sejumlah kecil sekolah yang tetap menawarkan program lokal, seperti misalnya International School of Geneva yang juga mengajarkan maturite Swiss). Orang tua siswa lokal terkadang juga tertarik oleh percampuran budaya yang terjadi di sekolah yang bersangkutan.

United World Colleges adalah contoh yang tepat untuk sekolah-sekolah internasional, seperti halnya sekolah-sekolah yang didirikan oleh PBB, misalnya: International School of Geneva, the UN International School (New York) dan Bienna International School. Ada juga sekolah-sekolah Uni Eropa (EU) yang untuk pertama kalinya menawarkan European Baccalaureate pada tahun 1959, yang sebagian besar merupakan representasi pembauran berbagai budaya negara-negara anggota Uni Eropa. Program-program sekolah ini menyatukan berbagai aspek kurikulum nasional sehingga setiap siswanya ter-ekspos dengan paling sedikit dua bahasa nasional dan budaya secara mendalam.

Sebuah sekolah internasional murni dapat dikatakan sebagai sebuah sekolah yang tidak melakukan penekanan pada budaya dan sistem pendidikan dari sebuah negara tertentu.

Sekolah Negeri Internasional – jenis ini benar-benar ada

Sebuah institusi hybrid adalah sekolah nasional dengan bagian internasional khusus. Jenis sekolah semacam ini dapat ditemukan di Belanda, Negara-negara Scandinavia seperti (Swedia, Denmark, Norwegia , Finlandia dan Iceland) dan dari Eropah Timur; ada sekitar 75 institusi dengan kurang lebih 45 berada di Negara -negaea Scandinavia. Dari sekolah-sekolah negeri ini yang mengajarkan bahasa nasional, ada bagian khusus yang mengajarkan bahasa Inggris dan menawarkan program eksklusif IB-biasanya untuk tingkat diploma namun secara berkala juga menawarkan Middle Years Programme (MYP). Semuanya, termasuk staff pengajar, disediakan oleh Negara. Di Belanda, seksi internasional sebagian besar dipadati oleh siswa-siswi asing dengan beberapa siswa Belanda yang pernah tinggal di luar negeri. Orang tua membayar uang sekolah yang jumlahnya tidak banyak ditambah dengan uang ujian IB. Di negeri-negeri Scandinavia dan Eropah Timur, seksi internasional ini biasanya melayani siswa-siswi dari dalam negeri tanpa perlu membayar uang sekolah namun tetap membayar ujian IB. Dalam setiap kasus, staff sekolah didominasi oleh orang-orang lokal, dengan sejumlah kecil native speakers bahasa Inggris dari luar negeri.

Perancis juga memiliki 8 lycees (sekolah) negeri yang menawarkan program internasional dengan seksi ingternasional bilingual yang mengajarkan bahasa Inggris dan sebuah bahasa lain. Bergantung pada ukuran sekolah, dapat terjadi bahwa sekolah yang bersangkutan memiliki satu atau lebih seksi internasional, masing-masing dengan bahasa keduanya sendiri contohnya: Bahasa Inggris, Spanyol, Portugis, Jerman, Itali, Jepang, Swedia. Sarana dan fasilitas serta materi disediakan oleh pemerintah Perancis, termasuk guru-guru yang mengajar dalam bahasa Perancis. Program IB Diploma ditawarkan oleh salah satu lycess ini, atau program yang dipakai adalah baccalaureat francais a option internationale (yang dipersiapkan oleh kementrian pendidikan) yang diuji untuk pertama kalinya pada tahun 1984 (terinspirasi oleh IB Diploma). Program ini identik dengan baccalaureate nasional dengan perkecualian bahasa asing yang digantikan dengan kelas sastra pada tingkatan siswa native speakers yang dilaksanakan enam kali seminggu dan 3 kali seminggu untuk sejarah/geografi dalam bahasa lain. Guru-guru pelajaran yang menggunakan bahasa asing (kecuali Inggris) disediakan oleh pemerintah dari negeri yang bahasanya diajarkan., melalui persetujuan bi-lateral dengan kementerian pendidikan Perancis. Native Speakers bahasa Inggris direkrut oleh seksi yang bersangkutan dan dibiayai oleh pembayaran yang ditarik dari orang tua. Seksi-seksi internasional mayoritas terdiri dari siswa asing dengan sejumlah siswa Perancis.

Pengecualian dapat terjadi, namun typolog sekolah ini dapat dipahami jika kita tidak secara otomatis mengasosiasikan pendidikan internasional hanya diberilkan oleh sekolah-sekolah internasional dan sekolah nasional hanya memeberikan pendidikan nasional.

Apa yang dimaksud dengan pendidikan internasional?

Banyak pendidik internasional telah berusaha merumuskan ‘pendidikan internasional’ selama bertahun-tahun. Deskripsi di bawah ini berisi pendekatan-pendekatan yang dimengerti oleh sebagian orang tentang apa itu pendidikan internasional dan menjadi topik utama dalam artikel ini.

Definisi UNESCO tentang pendidikan internasional menekankan kepada pendidikan bagi perdamaian, hak azasi dan demokrasi (UNESCO 1974). Definisi ini dipertegas dengan adanya deklarasi pada konferensi internasional dalam hal pendidikan (ICE), Geneva, 1994 dan disokong oleh konferensi umum UNESCO di Paris tahun berikutnya. ICE dikelola oleh Biro Pendidikan Internasional (UNESCO) dan mengajak serta Menteri Pendidikan dari seluruh Negara. TUjuan dari pendidikan internasional ini diperkenalkan dengan deklarasi ini (UNESCO, 1996, p. 90 untuk mengembangkan :

Nilai yang universal bagi adanya budaya perdamaian,
Kemampuan untuk menghargai kebebasan dan tanggung jawab warganegara yang ada didalamnya,
Pemahaman antar budaya yang mendorong pemersatuan ide dan solusi untuk memperkuat perdamaian,
Kemampuan untuk memecahkan konflik tanpa kekerasan,
Kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan,
Menghargai warisan budaya dan pemeliharaan lingkungan,
Rasa solidaritas dan keadilan pada tingkat nasional dan internasional

Sangat jelas bahwa deklarasi ini dapat diterima oleh para Menteri Pendidikan, yang tentunya merupakan program pendidikan nasional. Harapan UNESCO selalu adalah sistim pendidikan nasional akan memasukkan juga prinsip-prinsip diatas pendidikan internasional yang telah disebutkan diatas.

Bagaimana prinsip-prinsip ini diterjemahkan dalam tindakan ditingkat sekolah? Pendidikan Internasional memiliki kekhawatiran akan keseluruhan pengalaman formal (pembelajaran yang terencana) maupun pengalaman sekolah informal yang didapat.

Hal ini yaitu :

Isi mata pelajaran yang menyediakan sudut pandang internasional (termasuk isu global dan bahasa asing), pendidikan kewarganegaraan (lewat pelayanan masyarakat, contohnya): isu global termasuk kesadaran akan lingkungan, penyebab konflik, sangsi dari tidak bertoleransi bahaya gerombolan orang banyak dan membuat etika dalam bidang sains, teknologi dan ekonomi:
Mengenali bahwa dunia meningkatan pendekatan pedagogi yang bertergantungan yang dapat mengembangkan sikap keterbukaan kearah semua budaya, training dalam memecahkan konflik tanpa kekerasan pada semua budaya, dan ketrampilan menganalisa secara kritis untuk membuat pilihan-pilihan
Aktivitas yang dapat membawa siswa untuk berhubungan dengan orang dari budaya lain dan bagi yang mungkin kurang beruntung, untuk mengembangkan solidaritas pada tingkat lokal maupun internasional dan
Mengetahui bahwa perdamaian dunia hanya akan datang bila banyak budaya belajar hidup selaras dalam saling memahami dan menghormati yang didasari oleh gkaian nilai kemanusiaan yang universal.

Tujuan utama dari organisasi “Internasional Baccalaurate ” (IBO) adalah menyediakan program pendidikan internasional, kearah mana kriteria diatas dapat dikembangkan , hal ini semua ada diseluruh proram IB namun bukanlah objek diskusi kali ini. Cukuplah dikatakan bahwa George Walker, Direktur Umum IBO yang baru-baru ini diangkat, telah memecahkan pertanyaan rumit mengenai nilai universal dalam sebuah tulisan yang tidak diterbitkan (Walker 1999) dan dalam Jurnal Sekolah Internsional (April 2000). Walaupun mata pelajaran resmi tentang pemecahan konflik tanpa kekerasan hanya sedikit (Atlantic College, Wales telah mengembangkan Sekolah IB diploma berdasarkan silabus yang disebut ‘Pembelajaran tentang perdamaian dan konflik beberapa tahun lalu), prinsip dasar akan timbul ketika siswa menghormati pandangan-pandangan dari pihak lain, sebagai hasilnya mereka memodifikasi pandanagan mereka sendiri, dan berusaha keras untuk mendapatkan konsensus atau berkompromi dimana tidak ada yang menah atau kalah. Penyataan misi IBO menyebutkan komponen-komponen yang ada dalam pendidikan internasional, seperti yang sudah dijabarkan UNESCO, hanya dalam bentuk yang berbeda.

Untuk kepentingan artikel ini, diasumsikan bahwa The Primary years Programme (PYP), The Middle years Programme (MYP) dan The Diploma Programme (DP) dari IBO mewakili program pendidikan internasional sejajar dengan definisi diatas, seperti ketidak sempurnaan program-program diatas mungkin dalam memahami tujuan-tujuan yang dimaksud

Program IBO bukan satu-satunya program menuju gerbang pendidikan internasional walaupun hal itu menjadi prinsip utama dan filosofi mereka.

Secara jelas program nasional, patut dihargai, dapat memasukkan komponen-komponen yang ada dalam pendidikan internasional. Memang beberapa pemerintahan telah berusaha untuk memasukkan dimensi internasional kedalam sistem sekolah negara bagian mereka seperti yang dinyatakan dalam diskusi sekolah negeri bertaraf internasional. Program nasional bagaimanapun dapat ditundukkan oleh paksaan politik Negara tersebut. Dan tekananpun muncul, sebagai contoh, pengajaran sejarah harus sejajar dengan pemahaman pemerintah, dimana sebuah bahasa dibebankan atau ditekankan pada alasan politik atau dimana kesusasteraan tidak dapat diajarkan karena bertentangan dengan ideologi dari sebuah pemerintahan. Di beberapa negara pendekatan pedagogi menekankan pada hafalan dengan sedikit atau bahkan tidak sama sekali diberikan dorongan untuk bertanya dan berdiskusi tentang sudut pandang yang berbeda. Nyata benar, bahwa siswa dapat dihukum bila mereka tidak menjawab test yang diberikan sesuai dengan jawaban yang diharapkan.

Sulit untuk membayangkan bagaimana ketrampilan berpikir kritis- yang penting kaitannya dengan keterbukaan pandangan dari pendidikan internasional- dapat diciptakan dalam keadaan dan situasi seperti tersebut di atas.

Sekolah internasional versus Pendidikan internasional

Hayden dan Thompson telah menulis sebuah artikel yang sangat membantu dalam menyimpulkan literatur yang memiliki kekhawatiran tentang pemahaman akan sekolah internasional dan pendidikan internasional. Mereka menyimpulkan bahwa hubungan keduanya diatas membingungkan (Hayden & Thompson, 1995 p342). Keadaannya akan menjadi semakin jelas jika kita menerima bahwasanya tidaklah perlu ada hubungan antara pendidikan internasional dan sekolah internasional, dan juga berhenti untuk membuat seolah-olah hubungan tersebut ada.

Biarkanlah itu berlaku sebagaimana mestinya. Kita sudah terlalu lama, mencoba untuk membuat satu definisi dari pendidikan internasional melalui sekolah internasional, dan ternyata hal tersebut tidak membuahkan solusi. Kita, berasumsi bahwa sekolah internasional menawarkan pendidikan internasional. Kebanyakan sekolah internasional ya, tapi tidak semua. Hubungan tersebut sangat lemah.

Adalah lebih produktif dan realistis untuk melihat pendidikan internasional dan sekolah internasional sebagai konsep yang tidak berhubungan dan memperlakukan keduanya secara terpisah. Haydern (2000 p 53) mengatakan bahwa di kemudian hari, lebih baik kita mendedikasikan energi kita ‘ tidak untuk mengembangkan network (hubungan kerja) antara sekolah internasional, tetapi lebih kepada mengembangkan hubungan kerja antara sekolah-sekolah…….yang bertujuan untuk mempromosikan pendidikan internasional.

Robert Belle-Isle (1986 p30) mengatakan: ‘Sebuah sekolah tidak dapat mengklaim sebagai sebuah institusi internasional hanya karena 70% atau 80% dari kliennya berasal dari berbagai warganegara, ras dan budaya. Jika sekolah dapat menerima kehadiran berbagai warganegara diatas sebagai standar yang memadai untuk label tersebut, dan kebanyakan sekolah melakukannya, maka sekolah itu dapat dianggap sekolah internasional.

Ketidaksetujuan Robert Belle-Isle didasarkan pada ekspektasinya (yang sangat beralasan) bahwa pembentukan institusi yang disebut ‘ sekolah internasional’ akan mengacu secara kuat pada prinsip-prinsip dari pendidikan internasional. Merupakan satu realita dimana penggunaan kata ‘internasioanl’ didalam nama sekolah adalah untuk satu atau beberapa alasan di bawah ini, khususnya alasan yang pertama:

merefleksikan populasi sekolah dengan kearagaman bangsa dan Negara;
mengindikasikan bahwa institusi tersebut beroperasi di luar negeri dikhususkan untuk bangsa-bangsa dari Negara asal yang programnya diajarkan di sekolah itu.
karena sekolah tersebut berbagi prinsip-prinsip secara ideologi dan pedagogi dari pendidikan internasional dan hal tersebut diperlihatkan;
karena istilah ‘internasional’ sangat menarik perhatian dan memberikan pemasaran yang lebih baik dalam menjaring siswa.

Matthew (1988 p83-84) membedakan antara sekolah yang ‘berlandaskan ideologi’ dengan sekolah yang ‘berlandaskan pemasaran’. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat kriteria diatas. Sebuah sekolah dapat memiliki karakteristik keduanya. The United World Colleges jelas adalah sebuah grup dari sekolah-sekolah yang ‘berlandaskan ideologi’, tidak menggunakan istilah ‘internasional’ didalam nama mereka tetapi mereka memberikan pendidikan internasional dan memiliki latar budaya yang beragam, baik dilihat dari siswa maupun gurunya.

Segera setelah kita melepaskan hubungan antara pendidikan internasional dengan sekolah internasional, maka definisi dari sekolah internasional tidak akan menjadi masalah besar, dan sebenarnya tidak terlalu berarti (lihat Murphy, E, April 2000).

Hayden dan Thompson membuat pernyataan berikut (1995 p338): ‘Apakah kita memilih atau tidak memilih untuk mendefinisikan sekolah-sekolah tertentu sebagai sekolah-sekolah internasional, mungkin menjadi kurang penting bila dibandingkan dengan pendidikan itu sendiri yang dialami siswa di sekolah-sekolah tersebut.

January 12, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Masalah dalam Pendidikan Kita

1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.

2. Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

3. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).

4. Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

January 12, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Pengertian Teknologi, Teknologi dalam Pendidikan, dan Teknologi Pendidikan

Pengertian Teknologi

Teknologi atau pertukangan memiliki lebih dari satu definisi. Salah satunya adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya. Sebagai aktivitas manusia, teknologi mulai sebelum sains dan teknik. Kata teknologi sering menggambarkan penemuan dan alat yang menggunakan prinsip dan proses penemuan saintifik yang baru ditemukan.


Pengertian Teknologi dalam Pendidikan

Penggunaan media teknologi di dalam pendidikan, sebagai alat yang membantu guru dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam proses pembelajarannya. Di sini teknologi berguna untuk memfasilitasi guru dalam menyampaikan pelajarannya, sehingga apa yang disampaikan oleh guru benar-benar diterima oleh murid-muridnya.

Pengertian Teknologi Pendidikan

Definisi AECT 1994 :

“Teknologi Pembelajaran adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar.”

Rumusan tentang pengertian Teknologi Pembelajaran telah mengalami beberapa perubahan, sejalan dengan sejarah dan perkembangan dari teknologi pembelajaran itu sendiri. Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi tentang Teknologi Pembelajaran yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan Teknologi Pembelajaran.

Definisi Association for Educational Communications Technology (AECT) 1963

“ Komunikasi audio-visual adalah cabang dari teori dan praktek pendidikan yang terutama berkepentingan dengan mendesain, dan menggunakan pesan guna mengendalikan proses belajar, mencakup kegiatan : (a) mempelajari kelemahan dan kelebihan suatu pesan dalam proses belajar; (b) penstrukturan dan sistematisasi oleh orang maupun instrumen dalam lingkungan pendidikan, meliputi : perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen dan pemanfaatan dari komponen maupun keseluruhan sistem pembelajaran. Tujuan praktisnya adalah pemanfaatan tiap metode dan medium komunikasi secara efektif untuk membantu pengembangan potensi pembelajar secara maksimal.”

Meski masih menggunakan istilah komunikasi audio-visual, definisi di atas telah menghasilkan kerangka dasar bagi pengembangan Teknologi Pembelajaran berikutnya serta dapat mendorong terjadinya peningkatan pembelajaran.

Definisi Commission on Instruction Technology (CIT) 1970

“Dalam pengertian yang lebih umum, teknologi pembelajaran diartikan sebagai media yang lahir sebagai akibat revolusi komunikasi yang dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran di samping guru, buku teks, dan papan tulis…..bagian yang membentuk teknologi pembelajaran adalah televisi, film, OHP, komputer dan bagian perangkat keras maupun lunak lainnya.”

“Teknologi Pembelajaran merupakan usaha sistematik dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi keseluruhan proses belajar untuk suatu tujuan khusus, serta didasarkan pada penelitian tentang proses belajar dan komunikasi pada manusia yang menggunakan kombinasi sumber manusia dan manusia agar belajar dapat berlangsung efektif.”

Dengan mencantumkan istilah tujuan khusus, tampaknya rumusan tersebut berusaha mengakomodir pengaruh pemikiran B.F. Skinner (salah seorang tokoh Psikologi Behaviorisme) dalam teknologi pembelajaran. Begitu juga, rumusan tersebut memandang pentingnya penelitian tentang metode dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan khusus.

Definisi Silber 1970

“Teknologi Pembelajaran adalah pengembangan (riset, desain, produksi, evaluasi, dukungan-pasokan, pemanfaatan) komponen sistem pembelajaran (pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar) serta pengelolaan usaha pengembangan (organisasi dan personal) secara sistematik, dengan tujuan untuk memecahkan masalah belajar”.

Definisi yang dikemukakan oleh Kenneth Silber di atas menyebutkan istilah pengembangan. Pada definisi sebelumnya yang dimaksud dengan pengembangan lebih diartikan pada pengembangan potensi manusia. Dalam definisi Silber, penggunaan istilah pengembangan memuat dua pengertian, disamping berkaitan dengan pengembangan potensi manusia juga diartikan pula sebagai pengembangan dari Teknologi Pembelajaran itu sendiri, yang mencakup : perancangan, produksi, penggunaan dan penilaian teknologi untuk pembelajaran.


Definisi MacKenzie dan Eraut 1971

“Teknologi Pendidikan merupakan studi sistematik mengenai cara bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai”

Definisi sebelumnya meliputi istilah, “mesin”, instrumen” atau “media”, sedangkan dalam definisi MacKenzie dan Eraut ini tidak menyebutkan perangkat lunak maupun perangkat keras, tetapi lebih berorientasi pada proses.

Definisi AECT 1972

Pada tahun 1972, AECT berupaya merevisi defisini yang sudah ada (1963, 1970, 1971), dengan memberikan rumusan sebagai berikut :

“Teknologi Pendidikan adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha sistematik dalam : identifikasi, pengembangan, pengorganisasian dan pemanfaatan berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas keseluruhan proses tersebut”.

Definisi ini didasari semangat untuk menetapkan komunikasi audio-visual sebagai suatu bidang studi. Ketentuan ini mengembangkan gagasan bahwa teknologi pendidikan merupakan suatu profesi.

Definisi AECT 1977

“Teknologi pendidikan adalah proses kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana, dan organisasi untuk menganalisis masalah, merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar pada manusia.

Definisi tahun 1977, AECT berusaha mengidentifikasi sebagai suatu teori, bidang dan profesi. Definisi sebelumnya, kecuali pada tahun 1963, tidak menekankan teknologi pendidikan sebagai suatu teori.

Definisi AECT 1994

“ Teknologi Pembelajaran adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar.”

Meski dirumuskan dalam kalimat yang lebih sederhana, definisi ini sesungguhnya mengandung makna yang dalam. Definisi ini berupaya semakin memperkokoh teknologi pembelajaran sebagai suatu bidang dan profesi, yang tentunya perlu didukung oleh landasan teori dan praktek yang kokoh. Definisi ini juga berusaha menyempurnakan wilayah atau kawasan bidang kegiatan dari teknologi pembelajaran. Di samping itu, definisi ini berusaha menekankan pentingnya proses dan produk.

Jika kita amati isi kandungan definisi-definisi teknologi pembelajaran di atas, tampaknya dari waktu ke waktu teknologi pemebelajaran mengalami proses “metamorfosa” menuju penyempurnaan. Yang semula hanya dipandang sebagai alat ke sistem yang lebih luas, dari hanya berorientasi pada praktek menuju ke teori dan praktek, dari produk menuju ke proses dan produk, dan akhirnya melalui perjalanan evolusionernya saat ini teknologi pembelajaran telah menjadi sebuah bidang dan profesi.

Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, khususnya dalam bidang pendidikan, psikologi dan komunikasi maka tidak mustahil ke depannya teknologi pembelajaran akan semakin terus berkembang dan memperkokoh diri menjadi suatu disiplin ilmu dan profesi yang dapat lebih jauh memberikan manfaat bagi pencapaian efektivitas dan efisiensi pembelajaran.

January 12, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

TEKNOLOGI PENDIDIKAN

Menurut Prof.Dr Nasution, M.A. Teknologi pendidikan ialah media komunikasi yang berkembang secara pesat yang dapat dimanfaatkan dalam pendidikan.

Pengembangan, penerapan, dan penilaian system-sistem, teknik-teknik dan alat Bantu untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar manusia .

Pemikiran yang sistematis tentang pendidikan, penerapan metode problem solving dalam pendidikan yang dapat dialkukan dengan alat-alat komunikasi modern, atau tanpa alat-alat modern.

Pada hakikatnya, teknologi pendidikan adalah suatu pendekatan sistematis dan kritis tentang pendidikan. Teknologi pendidikan juga memandang soal mengajar dan belajar sebagai masalah atau problema yang harus dihadapi secara rasional dan ilmia.

Teknologi (Yunani) Technologia yang berarti systematic treatment atau penanganan secara sistematis. Techne (kata dasar technology), berarti, art, skill, science (Keahlian, keterampilan, dan ilmu), jadi teknologi pendidikan adalahpegangan atau pelaksanaan pendidikan secara sistematis.

Tokoh-tokoh Teknologi Pendidikan (Dalam Pengembangan Teknologi Pendidikan)

  1. Edward L Thorndike (1874-1949)

Menurutnya, belajar akan lebih berhasil bila ada respon murid terhadap suatu stimulus segera disertai dengan rasa senang atau rasa puas (berupa pujian atau hadiah). Hal ini dapat memperkuat hubungan antara stimulus dan respon, sehingga hasil belajar menjadi permanen

  1. Sidney L Pressey
  2. Ivan Pavlon (1849-1936)

Dia pernah mengadakan percobaan pada anjing untuk mempelajari prose belajar secara ilmiah. Proses belajar yang diselidikinya adalah ‘Conditioning’.

  1. BF. Skinner (Ilmuwan yang dikatakan paling berpengaruh)

Percobaan yang terkenal adalah percobaan pad burung merpati untuk mempelajari cara mengubah perilaku burung merpati tersebut. Ia membeikan stimulus (S) tertentu dan segera memperkuat respon (R) yang diinginkan dengan memberi makanan sampai bentuk kelakuan itu mantap. Kemudian ‘reinforcment’ itu berangsur-angsur dapat dikurangi untuk mempertahankan bentuk kelakuan yang dipelajari itu agar jangan lenyap atau dilupakan

  1. Norman C Crowder
  2. Gordon Pask

Mengunakan computer dalam pelajaran berprograma. Karena computer lebih mampu menyesuaikan program dengan kecepatan pelajar, baik yang cepat maupun yang lambat.

Perbedaan antara conditioning Pavlon dan Skinner:

Pavlon menggunakan serentak 2 stimulus yang berpasangan (antara makanan dan bunyi lonceng)

Sedangkan Skinner, menggunakan reinforcement segera setelah respon yang ditimbulkan berhasil dengan baik. Respon ini biasanya suatu langkahdalam serangkaian bentuk kelakuan yang menuju kearah pola kelakuan yang diinginkan.

Cakupan Pendidikan:

  1. Belajar atau mengajar
  2. Membimbing
  3. Melatih

Mengapa ada teknologi pendidikan?

  1. Perkembangan ilmu (perkembangan berpikir manusia)
  2. Perkembangan produksi pabrik yang mendukung penyelenggaraan teknologi pendidikan (pabrik audio visual)
  3. Perkembangan teori komunikasi

Pada tahun 1960an, teknologi pendidikan menjadi salah satu kajian yang banyak mendapatkan perhatian di lingkungan ahli pendidikan. pada awalnya, teknologi pendidikan merupakan kelanjutan perkembangan dari kajian-kajian tentang penggunaan audiovisual, dan program belajar dalam penyelenggaraan pendidikan. Kajian tersebut pada hakikatnya merupakan usaha untuk memecahkan masalah belajar manusia (human learning). Solusi yang diambil melalui kajian teknologi pendidikan adalah bahwa pemecahan masalah belajar perlu mengunakan pendekatan-pendekatan yang tepat dengan banyak memfungsikan pemanfaatan suber belajar (learning resources).

Perkembangan kajian teknologi pendidikan menghasilkan berbagai konsep dan praktik pendidikan yang banyak memenfaatkan media sebagai sumber belajar. Oleh karena itu, terdapat persepsi bahwa teknologi pendidikan sama dengan media, padahal kedudukan media berfungsi sebagai sarana untuk mempermudah dalam penyampaian informasi atau bahan belajar.

January 12, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

December 16, 2008 Posted by | Uncategorized | 1 Comment